Menguak Dapur Penerbit Mayor
"Menguak Dapur Penerbit Mayor"
Sebagai penulis, tentunya kita
ingin sekali jika buku kita bisa diterbitkan oleh Penerbit Mayor dengan
berbagai keunggulannya. Untuk itu, tentu saja kita harus mengetahui seluk beluk
atau kriteria agar buku kita bisa diterbitkan di Penerbit Mayor tersebut.
Pemerintah telah mengeluarkan undang-undang perbukuan
yang mencoba format baru digital untuk dapat dikembangkan di dunia perbukuan
Indonesia.
Dunia penerbitan yang saat ini di
bawah IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia), menjadi was-was dan memandang cukup
berat tantangan ke depan dunia cetak dan produksi buku. Undang-undang no 3 th
2017 tentang sistem perbukuan, telah memberikan isyarat yang tegas akan
hadirnya format media digital yang telah diberikan keleluasaan untuk secara
bertahan menggantikan dunia cetak. Dipertegas lagi dengan keluarnya Peraturan
Pemerintah no 22 yang keluar pada tahun 2022, telah memberikan petunjuk secara
tegas untuk memberikan arah ke dunia digital di penerbitan.
Kita sebagai calon penulis harus
memahami hal ini, karena atmosfir dunia penerbitan perlahan-lahan akan berubah,
karena posisi penulis menjadi semakin strategis dalam industri penerbitan. Hal
tersebut membuat dunia penerbitan bergegas untuk mengubah haluan visi misi
mereka ke arah yang lebih up to date,
menyongsong perkembangan teknologi yang lebih cepat dibandingkan perkembangan
dunia bisnis penerbitan secara umum. Beberapa penerbit yang tidak dapat
mengikuti perkembangan jaman, akhirnya mencoba mengurangi intensitas terbitan bukunya, akhirnya berimbas pula ke
jumlah produksi buku mereka, dan memukul pula pendapatan atau omzet buku
mereka. Penerbit buku di bawah IKAPI adalah penerbit yang mementingkan UUD
(Ujung-ujungnya Duit) untuk mempertahankan kelangsungan bisnisnya. Secara
otomatis cash flow akan terganggu, sehingga banyak penerbit akhirnya berpindah
haluan ke usaha yang lain.
Tahun 2020-2022 merupakan masa
paceklik bagi industri penerbitan, akan tetapi berbeda dengan dunia penulisan
yang justru marak-maraknya. Hal ini mungkin karena aktifitas kita dibatasi,
sehingga banyak yang memberikan kesempatan untuk bekerja dari rumah (WFH).
Penerbit tidak kekurangan naskah selama pandemi,
dengan angka naskah masuk yang masih stabil. Akan tetapi angka penjualan yang
turun hingga 90%, dimana toko buku sebagai outlet utama kami banyak yang tutup.
Sekolah dan kampus sebagai sumber pendapatan kami juga melakukan proses belajar
mengajar secara daring.
Produksi buku reguler sempat
terhenti, sehingga banyak penulis yang mempertanyakan masa depan penerbitan di
Indonesia secara umum. Tidak semua tema buku, ternyata bisa digantikan oleh
digital, hal inilah yang memberikan harapan baru penerbit untuk masih tetap
memertahankan lini bisnis bukunya. Titik balik (rebound) pasar buku yang lesu tampaknya sudah mulai
terasa mulai awal tahun 2022 ini, sehingga beberapa penerbit yang terlanjur
mengurangi produksi bukunya bisa tertinggal oleh penerbit yang masih konsisten
memertahankan produksi bukunya.
Data-data pemasaran tidak pernah
bohong, bahwa beberapa buku dengan tema yang khas ternyata masih sangat baik di
pasar. Nah para penerbit saat ini sedang gencar untuk tetap mempertahankan lini
bisnis, yang memang telah teruji oleh perubahan jaman. Hal ini memang
membutuhkan dana yang luar biasa besa untuk mencoba menggali lebih dalam
pasar-pasar buku yang tidak tergoyahkan dengan perkembangan teknologi yang
begitu gencar. Di dalam dunia Start-up dikenal dengan strategi bakar uang, nah
di penerbit-penerbit masih mencoba untuk melakukan beberapa penelitian tema
yang masih tetap baik di pasar.
Penerbit-penerbit mayor mempunyai
idealisme masing-masing, sehingga perlu bapak-ibu perhitungkan jika mengusulkan
usulan buku ke penerbit-penerbit tersebut. Toko buku saat ini sudah mulai
kembali menggeliat, peluang terbit di lini toko buku memang cukup berbeda
dengan lini sekolah maupun kampus. Tema buku yang menjadi andalan Toko Buku
saat ini adalah tema buku non teks, seperti buku Anak, Buku Motivasi dan Agama, Fiksi, hingga buku Masak yang
masih nangkrin di 10 besar data buku terlaris di setiap toko buku di Indonesia.
Yang menjadi permasalahan klise di
dunia penerbitan adalah masalah modal beserta pembiayaan produksi buku yang
cukup besar nulainya dalam sebuah proyek terbitan satu judul buku. Konsep dasar
pembiayaan dalam penerbitan buku, adalah penerbitnya yang membiayai. Nah karena
banyak tulisan yang tidak sesuai dengan misi dan visi penerbit akhirnya tidak
dapat terbit. Karena banyaknya buku yang ditolak penerbit, akhirnya penerbit
memberikan skema lain dalam penerbitannya. Misalnya dibiayai oleh penulisnya
sendiri, baik melalui skema dana pribadi, CSR Perusahaan, Dana Penelitian
Daerah, Dana Sekolah dll.
Skema penerbitan Indi, sempat
marak saat pandemi, dengan pembiayaan dari penulis akhirnya sebuah naskah dapat
diterbitkan. Maraknya penerbitan indie ini ternyata memicu permasalahan yang
lain yang belum pernah terjadi selama saya berkarier di dunia penerbitan yaitu
menjadi langkanya nomor ISBN di perpustakaan nasional.
Geger ISBN pun menjadikan
permasalah literasi di Indonesia menjadi sorotan dunia. Begitu besar semangat
untuk menulis di Indonesia menjadikan nomor ISBN pun tidak kuasa menerima
energinya. Apakah benar begitu? Ternyata ada anomali yang tidak wajar terjadi
didunia perbukuan di Indonesia. Wadah ISBN yang biasanya tersedia dengan mudah
untuk mendapatkannya, saat ini menjadi nomor mewah yang cukup sulit untuk
mendapatkannya. Mengapa bisa demikian, hal ini karena dipicunya keinginan
menulis buku hanya untuk mengejar angka kredit semata, tidak memikirkan apakah
tulisan tersebut disebarluaskan ke masyarakat seperti amanat undang-undang
perbukuan 2017.
Apakah manfaat ISBN tersebut? ini
saya ambil dari presentasi perpustakaan nasional tentang fungsi ISBN.
Manfaat ISBN :
- Identitas Sebuah Buku
- Sarana Promosi
- Alat untuk memperlancar arus produksi
- Meningkatkan poin angka kredit untuk kenaikan pangkat/ golongan dosen, sekaligus menjadi salah satu alat ukut penilaian akreditasi universitas
Buku dengan
Omzet terbesar adalah buku teks pelajaran utama, karena pasarnya sangat besar
seluruh sekolah di Indonesia. Buku ini melalui proses seleksi dari pemerintah
yang cukup ketat. Semua penerbit mempunyai peluang yang sama, akan tetapi
penerbit yang misi dan visinya di buku pelajaran biasanya yang lebih siap.
Buku teks pendamping atau modul
biasanya mempunya pasar yang lebih kecil, akan tetapi sangat fleksibel pola
pemasarannya. Tidak mustahil buku ini juga mempunyai omzet yang cukup besar
juga disalurkan di proyek-proyek pemerintah.
Buku umum pasarnya paling kecil,
karena outlet utama adalah di toko buku baik toko buku modern maupun
tradisional.
Penerbit mayor mempunya saluran
pemasaran yang cukup banyak, atau disebut omni channel marketing sehingga
selama pandemi bisa berkelit di saat yang sulit.
Nah, kita sebagai calon penulis
dapat mencoba menawarkan semua tipe tulisan supaya peluang terbitnya menjadi
lebih besar. Saat ini pasar buku sudah mulai bangkit lagi, akan tetapi produksi
buku sudah terlanjur melambat. Sehingga bulan-bulan ke depan, jumlah judul buku
yang beredar di Indonesia akan mengalami penurunan akibat 2,5 tahun pandemi.
Ini kesempatan bagi kita untuk
tetap semangat menulis karena pasar buku masih cukup menarik mengingat buku
fisik masih menjadi andalan utama penerbit dalam mencari peruntungannya.
Kesimpulan
Penerbit adalah lembaga yang mencari profit, dan mempunyai idealisme dalam menerbitkan bukunya sesuai dengan visi misinya. Penulis dapat mengikuti idealisme penerbit dalam menghasilkan buku yang akan dinikmati oleh pembacanya. Kirimkan usulan penerbitan buku, supaya ide Anda dapat ditangkap penerbit dan disebarluaskan ke pembaca.
Gas bu menuju buku mayor
BalasHapus